TRIBUN-VIDEO.COM - Sekilas tak ada yang berbeda dengan aktivitas warga di Dusun Poro, Desa Tlogosari, Kecamatan Giritontro, Kabupaten Wonogiri.
Namun ada hal yang menarik, ternyata masyarakat di sana tidak ada satu pun yang menggunakan kayu jati untuk bangunan rumah karena suatu hal.
Bahkan untuk menemukan pohon jati di Dusun Poro pun sangatlah sulit.
Berbeda dengan dusun di sekitarnya yang banyak tumbuh pohon jati.
Tokoh Masyarakat bernama Wakino menceritakan penyebab masyarakat tak ada yang berani menggunakan kayu jati.
Menurutnya, hal tersebut berkaitan dengan cerita rakyat.
Disebutkan bahwa ketika zaman Kerajaan Majapahit, ada pemuda pendatang bernama Citrowongso.
Ia datang ke wilayah Dusun Poro saat malam hari dan kondisi hujan lebat.
Citrowongso yang membuat api di atas air untuk menghangatkan diri membuat orang yang sedang ronda malam heran dan melaporkan kejadian itu ke Mbah Bayan.
Kemudian oleh Mbah Bayan, Citrowongso yang saat itu mengembara diajak tinggal bersama hingga dijodohkan dengan anak perempuannya.
Baca: Asal- usul Kabupaten Karanganyar: Hutan Tempat Pangeran Sambernyawa Terima Titah Diponegoro
Setelah lama menikah, Citrowongso diutus oleh Mbah Bayan untuk berangkat menuju medan perang.
Sebelum berangkat, Citrowongso dibekali dengan serban atau kendaraan zaman dahulu yang terbuat dari kayu jati.
Kemudian ia berpesan kepada keluarga sebelum berangkat perang.
Jikalau serban tersebut kembali dalam keadaan berlumuran bercak darah, maka dipastikan Citrowongso gugur.
Namun apabila kembali dalam keadaan bersih, Citrowongso berarti memenangi peperangan yang diikutinya.
Singkat cerita, kata Wakino, Citrowongso memenangi perang itu dan mengutus serban dari Mbah Bayan untuk pulang terlebih dahulu.
Namun diperjalanan pulang, serban itu bergesekan dengan pupus daun jati yang mengakibatkan banyak noda warna merah.
Hal itu yang membuat Mbah Bayan dan istri Citrowongso sedih kala teringat pesan yang disampaikan sebelum berangkat perang.
Karena lama tak kunjung pulang dan menganggap Citrowongso meninggal, akhirnya istri Citrowongso dinikahkan kembali dengan resepsi besar dan menggelar wayangan.
Citrowongso yang saat itu sudah sampai di Poro kemudian bertanya ke Mbok Rondho yang rumahnya di dekat acara resepsi.
Kemudian oleh Mbok Rondho dijelaskan bahwa itu acara resepsi anak Mbah Bayan.
Citrowongso kemudian menemui dalang dalam acara wayangan itu dan meminta izin untuk menjadi dalang.
Setelah diizinkan, Citrowongso kemudian mendalang dengan menceritakan perjalanan hidupnya.
Saat itu, barulah semua sadar bahwa Citrowongso masih hidup.
Mbah Bayan kemudian berujar bahwa ia melarang anak cucunya yang menempati Dusun Poro dilarang menggunakan kayu jati.
Baca: Asal-usul Umbul Langse Boyolali, Jadi Tempat Favorit untuk Bertapa hingga Pernah Mendadak Kering
Hingga saat ini, pantangan tersebut masih dipatuhi masyarakat Dusun Poro dan tak ada yang berani melanggar.
Dipercaya apabila berani melanggar makan akan ada musibah yang menimpa.
Akan tetapi, kejadian tidak baik itu tak serta merta langsung muncul ketika ada warga yang nekat memanfaatkan kayu jati untuk bangunan.
Menurut Wakino, ada cerita seperti yang dialami oleh eyangnya yang pernah menggunakan satu batang kayu jati untuk kasau (usuk) rumah.
Saat eyang yang berasal dari Jawa Timur itu meninggal, ada kejadian yang menurutnya tak masuk akal.
Dirinya melihat langsung saat pemakaman, ada darah yang keluar dari bekas luka.
Terkadang, apabila masyarakat lupa juga akan mengalami kejadian itu.
Misalnya ketika terkena pisau, darah juga tak berhenti menetes.
Memang penggunaan kayu jati masih diperbolehkan bila untuk gagang sabit maupun cangkul dan kayu bakar.
Selain larangan penggunaan kayu jati di Dusun Poro, ada cerita lain yang berkembang di masyarakat.
Dari beberapa warga yang ditemui menyebutkan jika ada seorang pejabat yang datag ke Dusun Poro maka akan berujung kesialan.
Hal yang tidak baik itu berupa pangkat yang akan diturunkan atau karier yang segera berakhir.
Menurut tokoh masyarakat setempat, Wakino, tak menampik adanya mitos yang berkembang di masyarakat.
Bahkan sejak dari kecil, dirinya sudah mendengar cerita tersebut.
Namun ia menyebut bahwa mitos tentang kunjungan pejabat tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kayu jati dan hanya cerita yang dibuat-buat.
Baca: Asal-usul Larangan Mendengarkan Lagu yang Dinyanyikan Sinden di Dukuh Singomodo, Begini Ceritanya
Ia mengatakan, cerita itu hanya akal-akalan orang jahat pada zaman dulu.
Karena wilayah yang berada di pinggir, maka disebutkan menjadi tempat persembunyian orang-orang buruk, seperti maling dan lainnya.
Sehingga mitos tentang pejabat yang ke sana akan mendapatkan nasib sial, itu dibuat hanya untuk menutupi keberadaan orang-orang jahat itu.
Namun, Wakino berpendapat, semua kembali pada niat dan perbuatan yang bersangkutan itu sendiri, dalam hal ini adalah pejabat.
Jika ada pejabat yang datang itu jujur dan memiliki niat yang baik maka disebut Wakino tak akan menjadi masalah.
Berlaku sebaliknya, jika datang dengan niat buruk dan membuat masyarakat sengasara, maka ada hal yang mungkin terjadi.
Meskipun begitu, Wakino tidak tahu kapan mitos itu mulai berkembang disana, yang jelas sejak dia kecil sudah mendengar cerita tersebut.(*)
# Dusun Poro # Wonogiri # Wonogiri # kayu jati # Pejabat
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.