Minggu, 11 Mei 2025

Tribunnews WIKI

Profil Otto Iskandardinata - Pahlawan Nasional di Bidang Politik

Senin, 5 Agustus 2019 16:01 WIB
TribunnewsWiki

TRIBUN-VIDEO.COM - Raden Otto Iskandardinata merupakan salah seorang pahlawan nasional yang terkenal sebagai seorang yang sangat berani melawan Belanda.

Otto Iskandardinata pernah masuk ke dalam daftar hitam yang membuat pemerintah kolonial Belanda ketar-ketir karena keberaniannya dalam membongkar kasus bendungan Kemuning.

Otto Iskandardinata juga menjadi orang pertama yang memopulerkan frasa Indonesia Merdeka.

Otto Iskandardinata menjadi korban “Laskar Hitam” di Pantai Mauk, Tangerang yang merenggut nyawanya.

Tidak hanya itu, jenazahnya juga tidak pernah ditemukan sampai saat ini.

Ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Kepurusan Presiden RI No 088/TK/Tahun 1973 pada tanggal 6 November 1973.

Kehidupan Pribadi

Raden Otto Iskandardinata lahir pada 31 Maret 1897 di Bojongsoang, Bandung, dari keluarga terpandang.

Ayahnya, Raden Haji Rachmat Adam merupakan seorang kepala desa.

Tempat tinggalnya juga merupakan rumah paling besar dan megah se-Bojongsoang.

Ibunya bernama Nyi Raden Siti Hatijah.

Otto Iskandar Dinata menikah dengan seorang perempuan bernama Soekirah, putri Asisten Wedana di Banjarnegara yang 10 tahun lebih muda darinya.

Dari pernikahan itu, keduanya dikaruniai 12 orang anak.

20 Desember 1945 ditetapkan sebagai hari meninggalnya Otto Iskandardinata.

Ia menjadi korban “Laskar Hitam” di Pantai Mauk, Tangerang dan tidak pernah ditemukan jenazahnya pascakematiannya.

Sebenarnya pada penghujung 1952, sebuah peti jenazah tiba di kediaman Otto Iskandardinata diiringi ratusan orang.

Tapi di dalamnya tidak ada jenazah Otto Iskandardinata, melainkan hanya pasir dan air laut yang diambil dari kawasan Pesisir Mauk, Tangerang, Banten sebagai pengganti jenazahnya. 

Riwayat Pendidikan

Sebagai seorang anak dari keluarga berada, pendidikan formal Otto Iskandar Dinata juga terbilang baik.

Otto Iskandardinata mengenyam pendidikan yang baik dan dikenal sebagai salah seorang siswa paling cerdas sejak sekolah dasar, menengah, hingga sekolah pendidikan guru di Bandung dan Purworejo. 

Otto Iskandardinata menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Bandung.

Lulus dari HIS, Otto Iskandardinata kemudian melanjutkan pendidikan di Kweek-school Onder-bouw (Sekolah Guru Bagian Pertama) yang berasrama di Bandung.

Di sini, Otto Iskandardinata sudah suka berontak dengan sistem yang ada di sekolahnya, meski begitu ia tetap menunjukkan prestasinya.

Setelah lulus, Otto Iskandardinata kemudian melanjutkan ke Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah.

Karena banyak membaca artikel-artikel di De Expres yang dikelola oleh Douwes Dekker, jiwa pemberontak di dalam diri Otto Iskandardinata semakin menjadi.

Tulisan-tulisan di dalam De Expres memang banyak berisi tentang kecaman-kecaman terhadap Belanda, karena itu Otto Iskandardinata mulai berontak untuk memperjuangkan hak-hak bangsanya.

Sebenarnya pelajar-pelajar HKS dilarang membaca surat kabar tersebut, namun Otto Iskandardinata tetap membacanya dengan sembunyi-sembunyi.

Surat kabar itu disembunyikan dibawah bantal.

Seringkali pula surat kabar itu dipinjamkan kepada teman-temannya.

Otto membaca tulisan-tulisan Douwes Dekker yang mengungkapkan kepincangan-kepincangan dalam masyarakat kolonial dan mengecam cara-cara yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda yang sangat merugikan kepentingan rakyat Indonesia. 

Selain berotak cemerlang, Otto Iskandardinata juga dikenal bernyali tinggi, tidak suka berbasa-basi, terutama dalam mengungkapkan pikiran dan isi hatinya, karena itu dia dijuluki Si Jalak Harupat.

Pernah pada suatu ketika, Otto sengaja menyematkan dasi di pakaian seragamnya, tidak seperti kawan-kawannya yang lain.

Tak pelak, ini membuat guru sekolahnya marah.

“Otto!” hardik sang guru yang orang Belanda itu.

“Mengapa kamu memakai dasi? Saya saja tidak memakai dasi!”

Yang ditegur kemudian menjawab dengan tajam, “Tuan guru tidak perlu memakai dasi, sebab tuan sudah tua.”

“Kurang ajar kamu, ayo keluar!” sembur sang guru.

Otto Iskandardinata dengan tenang keluar dari ruangan kelas.

Dugaannya benar, tuan guru menyebutnya kurang ajar karena ia anak bumiputera.

Lain halnya jika ia anak orang Belanda, atau setidaknya seorang sinyo, gurunya pasti akan bilang bahwa ia adalah anak yang suka berterus terang.

Riwayat Karier

Setamat dari HKS, Otto Iskandardinata bekerja sebagai guru HIS di Banjarnegara, Jawa Tengah.

Namun hanya berselang setahun, pada 1921 ia kemudian dipindahkan ke Pekalongan, Jawa Tengah.

Meski waktunya banyak tersita karena pekerjaannya sebagai seorang pendidik, ia masih sempat melungkan waktunya untuk berorganisasi.

Di Pekalongan, Otto Iskandardinata bergabung dengan Budi Utomo dan kemudian diangkat menjadi wakil Budi Utomo dalam Dewan Kota Pekalongan.

Dalam dewan itu ia seringkali mengkritik pengusaha-pengusaha perkebunan Belanda yang bertindak kasar dan sewenang-wenang terhadap petani.

Otto Iskandardinata tetap bertahan dengan pendapatnya dan terbukti dialah yang benar.

Karena perselisihannya dengan Residen Pekalongan, Otto Iskandardinata kemudian dipindahkan ke tempat lain.

Namun, pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir akan pengaruhnya sehingga Otto Iskandardinata dipindahkan ke Jakarta dan mengajar di Perguruan Muhammadiyah.

Sebelum pindah, Otto Iskandardinata sempat memprakarsai berdirinya “Sekolah Kartini” bagi anak-anak remaja puteri di kota itu.

Kepindahannya ke Jakarta justru mendorongnya untuk lebih aktif berorganisasi.

Selain mengajar, Otto Iksandardinata juga menjadi anggota Paguyuban Pasundan yang bertujuan untuk melestarikan ikatan primordial atau kedaerahan tetapi sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat.

Otto Iskandardinata mula-mula menjabat sebagai anggota Pengurus Besar, kemudian menjadi ketua.

Berkat kepemimpinannya, berbagai kemajuan dicapai oleh Paguyuban Pasundan, sehingga berhasil mendirikan sekolah, bank, dan berbagai yayasan sosial yang bermanfaat untuk rakyat banyak.

Pada 1930 Otto Iskandardinata diangkat menjadi anggota Volksraad untuk yang kedua kalinya, namun kali ini Otto Iskandardinata mewakili Paguyuban Pasundan.

Pidato-pidatonya dalam Volksraad tak henti-hentinya mengecam Pemerintah Belanda.

Karena itu, ia sering disuruh berhenti waktu sedang berpidato.

Di dewan itu, keanggotaannya dalam Volksraad dicabut pada 1935, namun ia masih tetap aktif di Paguyuban Pasundan.

Atas usaha Otto Iskandardinata, Paguyuban Pasundan bergabung dengan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).

Kemudian sesuai dengan kecenderungan organisasi dan partai politik pada waktu itu, pada 1939 Paguyuban Pasundan bergabung ke Gabungan Politik Indonesia (Gapi).

Pada masa pendudukan Jepang, semua partai dan organisasi massa dibubarkan dan dilarang berdiri.

Keaktifannya berorganisasi pun terhenti.

Karena alasan itu, Otto Iskandardinata memindahkan kegiatan ke bidang lain, yakni bidang kewartawanan dengan menerbitkan surat kabar Warta Harian Cahaya.

Nyatanya, meski telah memiliki profesi baru sebagai seorang jurnalis tak lantas membebaskannya dari kegiatan berorganisasi.

Ia kemudian diangkat menjadi anggota PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), Jawa Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat Jawa), kemudian menjadi anggota Cuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat buatan Jepang).

Menjelang Proklamasi Kemerdekaan, Otto Iskandardinata duduk dalam Badan Penyelidik Usaha-usha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Dalam kapasitasnya sebagai anggota panitia itu, ia turut serta menyusun Undang-Undang Dasar 1945.

Pascakemerdekaan RI, Otto Iskandarsinata diangkat menjadi Menteri Negara.

Di samping itu, Otto Iskandardinata juga menjadi pemimpin Badan Pembantu Prajurit, ia juga turut andil dalam membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berkembang menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). 

Misteri Kematian

Masalah pembentukan BKR cukup riskan dan sensitive lantaran melibatkan sejumlah pihak dari latar belakang militer berbeda, di antaranya mantan anggota Pembela Tanah Air (PETA) dan Heiho bentukan Jepang, serta bekas prajurit KNIL bentukan Belanda.

Tidak semua pihak setuju dengan upaya penyatuan para mantan tentara itu ke dalam BKR.

Mereka yang tidak sepakat kemudian membentuk laskar-laskar sendiri dan cenderung tidak menyukai gaya diplomasi untuk peralihan pemerintahan sepenuhnya dari Jepang seperti yang diusulkan Otto Iskandardinata.

Mereka pun memilih bertindak lebih frontal.

Kendati belum sepenuhnya terbukti, tapi ditengarai dari situlah asal-muasal maut yang menjemput Otto.

Beberapa kepingan referensi menyebut bahwa Otto diculik oleh salah satu laskar yang bermarkas di Tangerang, pada 19 Desember 1945, dan dibawa ke suatu tempat di pesisir Pantai Mauk.

Versi lain tentang pembunuhan Otto Iskandardinata diungkap Iip D. Yahya dalam Oto Iskandar di Nata: The Untold Stories (2017).

Iip menelusuri catatan sidang pengadilan Mujitaba dkk, tersangka pembunuhan Otto, pada 1957.

Anggota Laskar Hitam yang menculik Otto, menurut Iip, termakan desas-desus yang disebarkan agen-agen NICA bahwa Otto adalah mata-mata Belanda.

Tujuan NICA menyebarkan isu ini tentu saja untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap menghalangi upaya rekolonisasi Belanda.

Kemungkinan lain adalah Otto dituduh menguasai uang senilai satu juta gulden yang didapat dari seorang perwira Jepang bernama Ichiki Tatsuo.

Uang tersebut berasal dari dana rampasan perang ketika Jepang berhasil mengusir Belanda dari Indonesia.

Ketika para eksekutor hendak menghabisi Otto Iskandardinata, mereka berteriak, “Mata-mata musuh yang menjual kota Bandung satu miliun! Agen NICA!”

"Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, di antara para perwira Jepang yang memiliki akses pada uang rampasan, ada yang memilih untuk memberikannya kepada tokoh-tokoh Indonesia yang mereka percayai, untuk digunakan sebagai bekal perjuangan. Uang itu berasal dari rampasan perang ketika Jepang mengalahkan Belanda sejak 8 Maret 1942, maka uangnya berupa gulden Belanda," ujar Iip.

Satu hal yang paling menarik dari kemungkinan tersebut adalah informasi Otto menguasai uang satu juta gulden pasti sangat terbatas pada kalangan elit semata.

Hampir tidak mungkin anggota-anggota laskar dari pinggiran Tangerang mengetahui informasi macam ini.

Menurut Iip, boleh jadi ada tokoh lain yang memerintahkan Laskar Hitam menghabisi Otto.

Hingga saat ini, jenazah Otto Iskandardinata masih belum ditemukan.

(TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)

ARTIKEL POPULER:

Baca: Profil M. T. Haryono - Pahlawan Revolusi dan Tentara Nasional Indonesia

Baca: Profil K.H. Idham Chalid - Pahlawan Nasional di Bidang Politik

Baca: Profil Slamet Riyadi - Tentara Nasional Indonesia dan Pahlawan Nasional

TONTON JUGA:

Editor: Alfin Wahyu Yulianto
Video Production: Panji Anggoro Putro
Sumber: TribunnewsWiki

Video TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved