HUT ke-77 RI
Mengenal Pahlawan Nasional Agus Salim 'The Grand Old Man' Indonesia, Ahli 7 Bahasa Asing
TRIBUN-VIDEO.COM - Agus Salim adalah pejuang kemerdekaan yang dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 27 Desember 1961, melalui Keppres Nomor 657 tahun 1961.
Semasa hidup, ia dikenal sebagai seorang politikus, jurnalis, dan diplomat dengan julukan "The Grand Old Man".
Agus Salim dijuluki "The Grand Old Man", karena prestasinya di bidang diplomasi dan kefasihannya dalam berbahasa asing.
Pasalnya, Agus Salim diketahui mengusai tujuh bahasa Asing, yaitu bahasa Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman.
Baca: Sosok Agus Salim, Pahlawan dari Sumatera Barat yang Jadi Panitia Sembilan
Ia merupakan putra dari Sutan Mohammad Salim, seorang jaksa dan hakim kolonial di Tanjung Pinang.
Sewaktu kecil, Agus Salim mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan lanjut ke Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia, di mana ia lulus pada 1903 dengan nilai tertinggi di seluruh Hindia Belanda.
Melihat prestasinya, ia berharap agar diberi beasiswa untuk sekolah kedokteran di Belanda.
Namun, permohonannya tidak terkabul.
Oleh karena itu, Agus Salim, yang menguasai banyak bahasa asing sejak usia muda, memilih bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri, Riau.
Pada 1906, Agus Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda.
Setelah lima tahun, atau pada 1911, Agus Salim kembali ke Indonesia dan mendirikan Hollandsche Inlandsche School (HIS).
Karier jurnalistik Agus Salim menekuni dunia jurnalistik sejak 1915, dengan menjadi redaktur di Harian Neratja.
Setelah itu, ia diangkat menjadi ketua redaksi.
Kegiatannya di bidang jurnalistik terus berlangsung hingga menjadi pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta.
Agus Salim juga mendirikan surat kabar Fadjar Asia dan menjadi redaktur di harian Moestika di Yogyakarta.
Ia bahkan menjadi pemimpin terkemuka organisasi ini dan dianggap sebagai tangan kanan pemimpinnya, HOS Tjokroaminoto.
Agus Salim sempat dituduh memiliki hubungan yang terlalu dekat dengan pemerintah kolonial Belanda.
Hal ini karena surat kabar Neratja, yang sempat didanai oleh Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum pada 1917.
Akan tetapi, pada 1918, Neratja justru menjadi media untuk menyampaikan kritik keras terhadap Belanda.
Baca: 7 Artis Masih Memiliki Garis Keturunan Pahlawan Tanah Air, Ada Cucu Soekarno hingga Agus Salim
Pada 1921, Salim diangkat sebagai anggota Volksraad (dewan rakyat) mewakili Sarekat Islam.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, ia diminta untuk menyusun kamus militer untuk digunakan oleh Pembela Tanah Air (PETA).
Setelah itu, Agus Salim ditunjuk untuk menasihati para pemimpin Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara, yang bertanggung jawab atas Pusat Tenaga Rakyat (Putera).
Pada Maret 1945, Agus Salim ditunjuk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Ia juga menjadi anggota Panitia Sembilan, yang bertugas untuk menyusun dasar negara.
Lihat Foto Haji Agus Salim(wikimedia) Karier politik Agus Salim terus berkembang, di mana ia sempat dipercaya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sampai Maret 1946.
Ia memimpin delegasi Indonesia dalam Konferensi Hubungan Asia di New Delhi, India, sejak Maret hingga April 1947.
Setelah itu, Agus Salim memegang jabatan sebagai Menteri Luar Negeri untuk beberapa kabinet di Indonesia, sebagai berikut.
Selama menjadi menteri luar negeri, Agus Salim pernah menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB di New York dan menjadi salah satu tokoh yang terlibat dalam proses Perjanjian Renville.
Ia pun menjadi salah satu pemimpin yang diasingkan bersama Sjahrir dan Soekarno ke Berastagi, Sumatera Utara.
Sekembalinya dari pengasingan, Agus Salim kembali bertugas menjadi Menteri Luar Negeri untuk Kabinet Hatta II.
Tugas diplomatik terakhir yang dijalankannya adalah sebagai delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada akhir 1949.
Pada 1953, ia menulis buku berjudul Bagaimana Takdir, Tawakal, dan Tauchid Harus Dipahamkan?, yang kemudian diubah menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Pada 4 November 1954, Agus Salim meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Untuk mengenang perjuangan dan peran Agus Salim, ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 27 Desember 1961, melalui Keppres Nomor 657 tahun 1961.
# pahlawan # Agus Salim # Indonesia # HUT ke-77 RI
Baca berita lainnya terkait Agus Salim
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Biografi Agus Salim, "The Grand Old Man" Indonesia
Sumber: Kompas.com
Olahraga
Thom Haye Terkejut dan Penasaran saat Tahu Timnas Indonesia Akan Hadapi Malaysia
1 hari lalu
Live Update
Delegasi IGS Keliling Kota Tua Ampenan dan Museum NTB, Terpesona Kuliner Lombok
1 hari lalu
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.