Terkini Megapolitan
Begini Kehidupan Kakek Tunanetra Bernama Sarono, Pemecah Batu yang Sekolahkan 60 Anak Yatim Piatu
TRIBUN-VIDEO.COM - "Bruk, bruk, bruk," begitulah suara saat Sarono (63) mengayunkan palu yang digenggamnya ke tumpukan batu-batu hingga menjadi bulir pasir bahan material bangunan.
Selama 15 tahun sudah Sarono melakoni pekerjaan sebagai pemecah batu di ujung Jalan Cipinang Jaya II, Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.
Tidak ada keraguan saat tangan kanannya mengayunkan palu sementara tangan kiri meraba tumpukan batu yang dipecah, pun Sarono merupakan penyandang disabillitas tunanetra.
Baca: Kisah Inspiratif Sarono, Seorang Tunanetra Pemecah Batu yang Bisa Sekolahkan 60 Anak Yatim
Bulir pasir dari pecahan bata merah, hebel, dan puing bangunan ini yang dijual Sarono dalam kemasan per karung, pembelinya warga yang sedang membangun rumah hingga untuk pasir burung.
"Saya enggak mematok harga. Kadang-kadang ada yang ngasih Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, Rp 20 ribu. Ya sudah, orang minta aja saya kasih kok," kata Sarono di Jatinegara, Jakarta Timur, Jumat (14/1/2022).
Pecahan batu bata, hebel, dan puing bangunan yang dipecah Sarono menjadi pasir merupakan pemberian gratis dari satu toko material di Jalan Cipinang Jaya AA dekat tempat kerjanya.
Pria asal Kecamatan Prembun, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah tersebut tidak pernah mematok harga jual karena prinsip kerja yang dipegangnya untuk menggapai rida Allah SWT.
Baginya seluruh harta yang dimiliki merupakan titipan Tuhan, sehingga tidak pernah keberatan menyerahkan karung pasir hasil jerih payah kerja dengan harga berapa pun.
Sedari pukul 07.00 WIB Sarono meninggalkan rumahnya yang berada dekat SMAN 53 Jakarta lalu berjalan kaki ke ujung Jalan Cipinang Jaya II, jaraknya sekitar 200 meter.
Pada hari biasa dia bekerja hingga pukul 11.00 WIB, namun khusus hari Jumat dia bekerja hingga pukul 10.00 WIB agar bisa lebih cepat pulang ke rumah lalu menunaikan ibadah Salat Jumat.
"Pulang ke rumah, makan, Salat Zuhur, istirahat. Setelah Salat Asar ke depan lagi (memecah batu) sampai pukul 17.30 WIB. Kecuali kalau hujan deras, kalau gerimis saya masih kerja pakai payung," ujarnya.
Tempat Sarono bekerja sekaligus menjual pasir memang tidak beratap, dia hanya berjongkok di sisa badan jalan dengan lebar tak sampai satu meter yang tidak jadi jalur kendaraan.
Tidak ada pemberitahuan apa pun penanda Sarono menjual pasir, hanya tumpukan batu bata, hebel, puing bangunan, karung pasir yang sudah dikemas, dan gundukan pasir.
Jika Sarono pulang ke rumah karung pasir hasil jerih payah berhari-hari memecahkan batu ditinggalkan begitu saja di lokasi, bahkan lima karung pasir yang hendak dijual pernah dicuri.
"Pernah (dicuri), lima karung lagi, yang gede-gede semua. Milik Allah kalau diambil dia berarti bukan punya kita. Yakin Allah bakal balas dengan yang lebih baik," tuturnya selagi bekerja.
Pekerjaan pemecah batu yang dilakoni Sarono sejak tahun 2007 memang tidak lazim bagi seorang tunanetra karena termasuk pekerjaan kasar yang berisiko tinggi terluka.
Sebagai pekerja sektor informal Sarono tidak memiliki gaji bulanan, sehingga kadang dia pulang ke rumah menemui sang istri tanpa membawa uang karena tidak ada pembeli pasir.
Tapi dari pekerjaannya dia mampu menyekolahkan 60 anak asuh, terdiri dari anak yatim dan duafa yang terlantar sejak tingkat PAUD, hingga SMK atau sederajat, dan bahkan kuliah.
"Sekarang anak asuh saya ada 60, ada yang di sekolah negeri dan swasta. Itu anak-anak yatim, yatim piatu, dan duafa. Misal ayahnya ada tapi menelantarkan ya saya sekolahkan," lanjut Sartono.
Sarono dan sang istri, Sri Ningsih (61) yang merupakan ibu rumah tangga mulai mengangkat anak asuh sejak tahun 2007 silam atau di tahun yang sama dia bekerja jadi pemecah batu.
Awalnya tidak pernah terbesit di benak Sarono untuk mengangkat anak asuh, karena kondisi perekonomian keluarga terbilang sulit dan penghasilan sebagai pemecah batu tidak seberapa.
Tapi Tuhan berkehendak lain, bermula ketika Sarono yang tidak dikaruniai keturunan pergi ke Pasar Gembrong, Kecamatan Jatinegara untuk membeli pakan burung peliharaannya.
Baca: Ini Atlet Para Renang Peraih Medali Emas Peparnas XVI Papua, Alami Tunanetra Penuh dari Kecil
Kala hendak pulang ke rumah Sarono mengalami kesulitan menyeberang jalan, dia lalu ditolong seorang ibu yang saat kejadian sedang membawa dua anak masih kecil.
"Nah anak yang digendong itu merengek 'bu jajan bu, jajan'. Terus karena saya enggak dikasih keturunan saya jawab. Ini ya nak, sedikit buat jajan, saya kasih lima atau 10 ribu begitu," kenangnya.
Setelah sang ibu yang masih warga Kecamatan Jatinegara itu menyampaikan terimakasih dan mendoakan Sarono, dia sadar masih banyak orang yang nasibnya lebih tidak beruntung.
Sarono pun mencari informasi untuk memastikan kedua anak tadi benar yatim atau bukan, dia pergi menemui Ketua RT tempat mereka tinggal demi mendapat informasi valid.
"Kalau nanya ke ibunya nanti malah jadi fitnah, masa orang buta ke tempat janda. Kita ke RT-nya, nanya, itu benar janda? Saya minta surat kematian (ayah anak) lah baru saya angkat diasuh," kata Sarono. (*)
Sumber: TribunJakarta
Terkini Daerah
Gadis Disabilitas Dirudapaksa Oknum Perawat saat Sendirian di RS di Cirebon
19 jam lalu
Tribunnews Update
Orangtua dari Pasien Disabilitas yang Diduga Dilecehkan Perawat RS Buka Suara: Anak Saya Trauma
1 hari lalu
Tribunnews Update
Perawat di Rumah Sakit Cirebon Diduga Lakukan Pelecehan terhadap Pasien Disabilitas di Ruang Isola
1 hari lalu
Tribunnews Update
Perawat RS di Cirebon Diduga Lecehkan Pasien Disabilitas 3 Kali, Ibu Korban Akui Sang Anak Trauma
1 hari lalu
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.