Tribunnews WIKI
Pemakaman Adat Desa Trunyan Bali, Dimana Jasad Tidak Dikebumikan Namun Dikeringkan Alami
TRIBUN-VIDEO.COM – Tradisi pemakaman suatu wilayah pastinya berbeda satu sama lain, dan terlihat unik bagi sebagian orang dari wilayah lain.
Pulau dewata Bali terkenal akan kentalnya budaya dan tradisi yang masih dipertahankan oleh setiap warganya.
Desa Trunyan Kecamatan Kintamani Bali, terkenal dengan proses pemakamannya yang cukup unik.
Tidak seperti desa adat lainnya, dimana jasad manusia yang telah meninggal dikubur atau dikremasi.
Di desa Trunyan jasad tersebut justru dibiarkan terbuka, membusuk, dan menyatu dengan tanah secara alami.
Penduduk desa Trunyan menyimpan berbagai tradisi dan peninggalan yang sangat beragam, di antaranya adalah Pura Ratu Gede Pancering Jagat, Tari Brutuk saat bulan Purnama Sasih Kapat, dan kuburan Trunyan.
Sejarah Pemakaman Trunyan
Desa Trunyan merupakan sebuah desa tua di Bali yang dikenal dengan 'Bali Aga'.
Desa Trunyan memiliki kompleks pemakaman dengan sebelas Acak Cakti atau Pelindung Mayat yang hanya diletakkan begitu saja diatas tanah.
Di kawasan ini tumbuh pohon Taru Menyan atau pohon Menyan guna menetralisir bau mayat di bawahnya.
Penamaan Desa Trunyan didasarkan atas nama pojon Menyan tersebut.
Dalam satu kompleks pemakaman, terdiri dari tiga kelompok pemakaman yang didasarkan berdasar tradisi di Desa Trunyan.
Pembagian berdasarkan umur, keutuhan jasad, dan cara pemakaman.
Kelompok pertama yakni Setra Wayah yakni tempat pemakaman yang dianggap suci, dan baik karena berisi jasad dalam kondisi utuh dan meninggal dengan wajar.
Kelompok kedua yakni kuburan muda dan diperuntukan khusus menempatkan jasad bayi dan orang dewasa yang belum menikah dan syarat utama dalam keadaan utuh.
Kelompok ketiga yakni setra bantas yakni pemakaman khusus untuk jasad yang tidak utuh, dan meninggal dalam keadaan tidak wajar.
Masayarakat adat desa Trunyan memiliki tiga lokasi pemakaman adat, yakni: Sema Wayah, Sema Bantas, dan Sema Nguda.
Sema wayah digunakan untuk pemakaman secara mepasah (kremasi), sema bantas digunakan untuk pemakaman secara dikubur, dan sema nguda merupakan pemakaman yang dapat digunakan untuk pemakaman mepasah atau dikubur.
Pemakaman mepasah dikususkan untuk masyarakat Desa Trunyan Bali yang meninggal setelah menikah, para bujangan dan anak kecil dengan gigi yang telah tanggal masuk juga dalam kategori mepasah.
Jasad pemakaman mepasah meskipun diletakan begitu saja, juga tidak berbau lantaran pohon taru sebagai penghilang bau jasad.
Legenda masyarakat Trunyan mengenai pohon trunyan ini sanggup menghipnotis empat bersaudara dari Keraton Surakarta yang tengah melakukan perjalanan melintasi lautan.
Empat bersaudara dari Surakarta ini akhirnya tiba di desa Trunyan, dan sulung dari empat saudara itu jatuh cinta dengan seorang Dewi penunggu pohon taru menyan.
Keduannya akhirnya menikah dan mendirikan sebuah kerajaan kecil di Desa Trunyan Bali, dan pangeran sulung menjadi raja kecil bergelar Ratu Sakti Pancering Jagat.
Semasa kepemimpinan raja kecil, masyarakat desa Trunyan diperintahkan untuk meninggalkan jasad warganya yang telah meninggal di bawah pohon taru menyan.
Semenjak itu wangi taru menyan tidak lagi menyebar, dan jasad yang diletakan di atas tanah tidak lagi membusuk.
Larangan Pemakaman Trunyan
Keunikan di pemakaman desa Trunyan, hanya laki-laki saja yang diizinkan untuk pergi kesana dan mengantarkan jenazah setelah ritual persiapan dilakukan.
Persiapan yang dimaksud meliputi pembersihan jenazah dengan air hujan dan membungkus dengan kain, tetapi bagian kepala dibiarkan terbuka.
Perempuan desa Trunyan tidak diperbolehkan untuk mengunjungi tempat pemakaman, mereka percaya apabila desa akan terkena gempa bumi atau letusan gunung berapi jika perempuan datang ke pemakaman.
Selain itu mereka mengunjungi makam tidak boleh langsung masuk ke Pura Pancering Jagar, dan harus melalui proses pembersihan terlebih dahulu.
Pemakaman Seme Wayah Desa Trunyan, beberapa jasad akan dibaringkan di dalam sangkar bambu untuk menghindari hewan buas.
Ketika semua sangkar sudah penuh, maka jasad yang paling lama akan dibuang untuk memberi ruang bagi jasad baru dan meletakannya diatas secara bertumpuk.
Apabila tubuh jasad sudah hancur akibat panas matahari, tulang belulang akan ditempatkan di altar di bawah pohon suci.
Pura Ratu Gede Pancering Jagat
Pura Ratu Gede Pancering Jagat menyimpan peninggalan megalitik berupa patung setinggi 4 meter yang tersimpan di dalam meru.
Patung ini disebut sebagai Arca Da Tonta yang diyakini penduduk Trunyan sebagai Dewa tertinggi untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan.
Dalam prasasi Terunyan AI yang diterjemahkan oleh Goris, tertulis sebuah piagam yang dikeluarkan oleh Keraton Singha Mandawa pada tahun Saka 833 (atau tahun 911 masehi).
Piagam tersebut berisikan ijin untuk membangun kuil 'Da Tonta'.
Selanjutnya, penduduk Trunyan berkewajiban untuk memelihara kuil tersebut dengan kompensasi berupa pembebasan
beberapa jenis pajak.
Tarian Ratu Brutuk
Tari Brutuk merupakan sebuah tari sakral yang dimiliki Desa Trunyan.
Proses pementasan tari sakral ini dilaksanakan pada saat upacara agama (piodalan) berlangsung di Pura Ratu Gede Pancering Jagat yang jatuh pada Bulan Purnama Sasih Kapat (bulan keempat pada pehitungana tahun saka di Bali yang umumnya jatuh pada Bulan Oktober).
Tarian ini hanya dipentaskan dua tahun sekali.
Masyarakat Desa Trunyan mengenal istilah Sasih Kapat Lanang (maskulin) dan Wadon (feminim).
Tari Brutuk hanya dimainkan para pemuda yang belum menikah 6 Selayang Pandang Desa Trunyan DESA (Daa Teruna) hanya dilaksanakan pada saat sasih Kapat Lanang.
Para pemuda tersebut mengikuti ritual penyucian diri selama 42 hari sebelum menarikan Tari Brutuk.
Pada saat Kapat Wadon, kegiatan upacara dimeriahkan oleh para remaja puteri (Daa Teruni) dengan aktivitas menenun kain sebagai proses ritual.
Tari Brutuk dalam pementasannya tidak menari seperti tari Bali pada umumnya.
Tarian dimainkan oleh Daa Teruna.
Dengan menggunakan topeng sakral dan baju kraras ( daun pisang kering) yang dicari dari Desa Pinggan, penari berkeliling pura dengan membawa cambuk (pecut).
Warga yang terkena pecut meyakini bahwa setiap pukulam yang mengenainya mampu menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Begitu juga dengan daun pisang kering (kraras) yang terjatuh diperebutkan warga sebagai bentuk berkah dan rejeki berlimpah yang akan diterimanya di kemudian hari.
(TribunnewsWiki.com/Ibnu Rustamaji, Nationalgeographic.grid.id/Nesa Alicia)
Artikel ini telah tayang di TribunnewsWiki dengan judul: Pemakaman Adat Desa Trunyan Bali
ARTIKEL POPULER:
Baca: 5 Wisata Unik Indonesia ini Bikin Turis Manca Penasaran! Mulai dari Trunyan hingga Danau 3 Warna
Baca: Pesona Air Terjun Tegenungan Gianyar dengan Nuansa Alam yang Indah saat Backpackeran ke Bali
Baca: Foto-foto Vanessa Angel Bersama Cucu Kakek Sugiono, Segera Bertemu Lagi di Bali
Video Production: Panji Yudantama
Sumber: TribunnewsWiki
Local Experience
Menelusuri Keistimewaan Pemakaman Desa Trunyan Bali, Mayat Tidak Dikubur namun Tidak Berbau
Kamis, 12 Desember 2024
Local Experience
Keistimewaan Pemakaman Desa Trunyan, Mayat Tidak Dikubur Namun Tidak Berbau
Jumat, 24 Mei 2024
Local Experience
Legenda Asal Muasal Desa Trunyan, Aroma Wangi Tercium sampai ke Pulau Jawa
Jumat, 24 Mei 2024
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.