Rabu, 14 Mei 2025

Tribunnews WIKI

Dwi Komando Rakyat, Biasa Dikenal dengan Dwikora

Senin, 12 Agustus 2019 07:55 WIB
TribunnewsWiki

TRIBUN-VIDEO.COM – Dwi Komando Rakyat atau yang lebih akrab dengan sebutan Dwikora merupakan komando Presiden Soekarno dalam melancarkan konfrontasi bersenjata terhadap Malaysia.

Dwikora sendiri bertujuan untuk menghalangi berdirinya negara Malaysia.

Dwikora dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 3 Mei 1964 di depan apel besar sukarelawan.

Lahirnya Dwikora ini tidak lepas dari peran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang saat itu cukup kuat di dalam pemerintahan Indonesia.

Besarnya pengaruh PKI di dalam pemerintahan terlihat ketika politik bebas aktif yang dianut Indonesia mulai masuk ke arah pengaruh RRC dengan memunculkan Poros Jakarta-Peking.

PKI sendiri menganggap pembentukan Federasi Malaysia merupakan proyek neo-kolonialisme Inggris yang dapat mengancam kedaulatan Indonesia.

Untuk mencegah semua itu, maka dikeluarkan Dwi Komando Rakyat atau Dwikora.

Lahirnya Dwikora ini juga menandai dimulainya konfrontasi bersenjata antara Indonesia dengan Malaysia.

Latar Belakang

Lahirnya Dwikora tidak bisa dilepaskan dari perseteruan panjang antara Indonesia dengan Malaysia.

Perseteruan itu bermula ketika muncul gagasan dibentuknya Federasi Malaysia yang menyatakan Malaya, Singapura, Sarawak, Brunei, dan Sabah (Kalimantan Utara).

Gagasan itu muncul petama kali dari Perdana Menteri Federasi Malaya, Tunku Abdul Rahman pada 27 Mei 1961.

Tujuannya untuk memperkuat kerja sama antara negara-negara tersebut di bidang politik dan ekonomi.

Rencana itu mendapat dukungan penuh dari Inggris, bukan tanpa alasan, sebab dengan terbentuknya Federasi Malaysia maka Inggris dapat mempertahankan kepentingannya di wilayah itu.

Agustus 1961, Komisaris Jenderal Inggris Lord Selkirk berkunjung ke Jakarta guna memberitahu secara resmi rencana pembentukan Federasi Malaysia.

Sikap para pemimpin Indonesia pada umumnya tidak menolak rencana itu.

Satu-satunya yang menolak rencana tersebut adalah PKI, karena pembentukan Federasi Malayia adalah bentuk neokolonialisme dan sebagai usaha untuk menekan gerakan rakyat di daerah untuk menentukan nasib sendiri.

Sebagai tindak lanjut dari ide pembentukan Federasi Malaysia, pada 23 November 1961, pemerintah Malaya dan Inggris mengadakan perjanjian yang dikenal dengan nama Malaysia Accord.

Adapun beberapa poin utama perjanjian tersebut di antaranya:

  • Federasi Malayasia akan terdiri dari Negara Malaya, Singapura, Serawak, Sabah, dan Brunei.
  • Akan dibentuk panitia untuk meninjau pandangan rakyat negara-negara di Kalimantan Utara dan pandangan Sultan Brunei.
  • Perjanjian pertahanan antara Inggris dan Federasi Malaya akan berlaku secara otomatis sejak terbentuknya Federasi Malaysia.
  • Pemerintah Malaysia memberi hak kepada Inggris untuk meneruskan pangkalan militernya di Singapura guna menjaga keamanan negara Federasi Malaysia, negara-negara commonwealth pada umumnya dan menjaga keamanan di Asia Tenggara.

Namun ternyata rencana pembentukan Federasi Malaysia tidak didukung oleh seluruh rakyat.

Di Malaya, banyak partai yang menolak, terutama partai-partai berhaluan kiri seperti Malayan Communist Party.

Di Sarawak, United People’s Party juga menolak bahkan sempat mengirimkan surat ke PBB.

Sementara di Singapura, Barisan Sosialis dan United People’s Party tidak mendukung masuknya Singapura ke dalam Federasi Malaysia.

Perlawanan hebat juga muncul di Brunei, Partai Rakyat pimpinan Azahari Muhammad yang memenangkan pemilihan umum tahun 1862, menolak pembentukan Federasi Malaysia.

Ia menginginkan pemerintahan sendiri dan kemerdekaan bagi seluruh Kalimantan Utara.

Mereka juga mengharapkan bantuan Indonesia.

Penolakan itu bahkan sempat memunculkan pemberontakan terhadap Inggris.

Sultan Brunei juga menolak gagasan penggabungan itu, karena masalah-masalah keuangan yang belum terselesaikan.

Penolakan sultan mengakibatkan Brunei tetap menjadi wilayah jajahan Inggris dan baru merdeka pada 1984.

Sementara itu, pada 13 Februari 1963, Soekarno mengambil keputusan untuk menolak pembentukan Federasi Malaysia.

Perang kata-kata antara Jakarta dan Kuala Lumpur berlangsung sejak April 1963, ketika Soekarno untuk pertama kalinya mengecam pembentukan Federasi Mlayasia pada Konferensi Wartawan Asia-Afrika.

Pada 9 Juli 1963, di London, Perdana Menteri Malya Tunku Abdul rahman menandatangani dokumen tentang pembentukan Federasi Malaysia.

Penandatangan itu menambah tegang situasi antara Indonesia dan Malaysia.

Mekipun penandangan dokumen pembentukan Federasi Malaysia telah dilakukan, konferensi antara tiga kepala negara (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) tetap berlangsung pada 30 Juli-5 Agustus 1953.

Konferensi yang berlangsung dalam ketegangan itu menghasilkan tiga dokumen yaitu Deklarasi Manila, Persetujuan Manila, dan Komunike Bersama.

Mengenai pembentukan Federasi Malaysia, ketiga kepala pemerintahan sepakat meminta Sekjen PBB untuk melakukan pendekatan terhadap rakyat di daerah-daerah yang akan dimasukkan dalam Federasi Malaysia.

Pasal 10 dari Persetujuan Manila menyatakan Indonesia menyambut baik pembentukan Federasi Malayisa jika didukung oleh rakyat di Kalimantan Utara dan dukungan itu adalah hasil penyelidikan oleh pihak yang bebas dan tidak memihak.

Pasal 11 Perstujuan Manila antara lain menyatakan kesanggupan Malaya untuk melakukan pembicaraan dengan pemerintah Igngris dan pemerintah Kalimantan Utara serta meminta Sekjen PBB untuk menyelidiki kehendak rakyat Kalimantan Utara.

Berdasarkan perjanjian itu Sekjen PBB menunjuk sembilan anggota Sekretariat PBB menjadi anggota Tim PBB untuk masalah Malaysia yang dipimpin oleh Laurence V. Michelmore.

Namun Perjanjian Manila nyatanya dilanggar pascakeluarnya pengumuman dari Kuala Lumpur dan London bahwa Malaysia tetap akan diproklamasikan pada 16 September 1963.

Pemerintah Inggris dan Perdana Menteri Maya telah bertekad tetap akan membentuk negara Federasi Malaysia apapun hasil dari penyelidikan PBB.

Indonesia dan Filipina dengan keras menentang hal itu. Namun, proklamasi Federasi Malaysia tetap dilaksanakan pada 16 September 1963, sebelum tim PBB menyampaikan laporan penyelidikannya.

Akibatnya, suasana semakin panas.

Pemerintah Indonesia menilai tindakan Malaysia merupakan pelanggaran terhadap PBB dan pernyataan bersama Tiga Kepala pemerintahan itu.

Soekarno juga memandang tindakan yang dilakukan oleh Tunku Abdul Rahman sebagai act of bad faith.

Pada 17 September 1963, pemerintah Indonesia secara sepihak memutuskan hubungan diplomatic dengan Kuala Lumpur.

Situasi semakin panas setelah rakyat di Jakarta mengadakan demonstrasi terhadap Kedutaan Besar Malaya dan Inggris di Jakarta.

Keesokan harinya, demonstrasi balasan yang bertujuan mengukuk kejadian di Jakarta diadakan di depan Kedubes Indonesia di Kuala Lumpur.

Pada 21 September 1963, Pemerintah Indonesia juga memutus hubungan ekonomi dengan Malaya, Singapura, Serawak, dan Sabah.

Bahkan sebuah program Kabinet Kerja (13 November 1963-27 Agustus 1964) adalah pengganyangan Malaysia.

Penolakan Indonesia semakin keras, setelah melancarkan konfrontasi dengan mengirim sukarelawan untuk membantu rakyat Kalimantan Utara melawan Inggris.

Usaha-usaha untuk memecahkan permasalahan sebenarnya sempat dilakukan.

Di antaranya pertemuan Menteri Luar Negeri ketiga negara di Bangkok pada 5-10 Februari 1964 dan 3-6 Maret 1964.

Sayangnya pertemuan itu tidak menghasilkan sesuatu yang positif karena perbedaan pemikiran pemimpin negara-negera tersebut.

Lahirnya Dwikora

Ketika suasana semakin genting, pada 3 Mei 1964 Soekarno menyerukan Dwi Komando Rakyat atau Dwikora.

Dwikora itu berisi dua komando, di antaranya:

  • Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.
  • Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei untuk membubarkan negara boneka Malaysia.

Sejak dikumandangkannya Dwikora, konfrontasi bersenjata antara kedua belah pihak pun secara resmi dimulai.

Gerilyawan Indonesia berusaha masuk ke daerah Malaya, Singapura, dan Kalimantan Utara dan melancarkan operasi-operasi militer.

Pihak Indonesia menyatakan bahwa Dwikora bukan untuk melawan rakat Malaysia melainkan untuk mengganyang negara boneka Malaysia.

Pernyataan tersebut sebagai respon dari gugatan Malaysia yang disampaikan di PBB bahwa Indonesia melanggar wilayah kedaulatannya.

Ketegangan politik dan militer di Asia Tenggara menarik perhatian negara-negara besar dunia.

Presiden Amerika Serikat John F Kennedy mengrimkan Jaksa Agung Robert Kennedy untuk menemui ketiga kepala negara dan mengajak untuk mengambil langkah perundingan.

Lahkah Kennedy untuk melakukan mediasi juga diikuti Perdana Menteri Jepang Ikeda dan Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman.

Untuk mengusahakan mediasi, diadakan pertemuan tingkat menteri luar negeri ketiga negara di Tokyo pada 5 Juni 1964.

Pertemuan itu mencapai puncaknya pada 20 Juni 1964.

Sempat terjadi kesepakatan antara ketiga negara dalam membentuk suatu komisi konsiliasi yang beranggotakan wakil-wakil negara Malaysia, Filipina, dan Indonesia (Maphilindo) ditambah seorang wakil dari negara Asia lainnya sebagai ketua.

 Operasi Dwikora

Perintah Presiden Soekarno untuk mengganyam Malaysia ditindaklanjuti pimpinan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dengan menggelar operasi Dwikora di sepanjang perbatasan Kalimantan dengan Sabah dan Sarawak sekitar 1964.

Karena tidak ada pernyataan perang resmi, maka ABRI tidak mengirim pasukan secara terbuka.

ABRI mengirimkan para gerilyawan untuk membantu Tentara nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang berperang melawan pemerintah Malaysia.

Meski disebut gerilyawan, namun sebagian besar anggotanya justru diambil dari pasukan elit ABRI.

Seperti Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) atau Pasukan Gerak Tjepat (PGT) dari TNI AU.

Namun mereka tidak bertempur sebagai anggota ABRI, melainkan TNKU.

Seragam ABRI mereka juga diganti dengan seragam TNKU.

Begitu juga identitas mereka yang dipalsukan untuk menghapus jejak keterlibatan Malaysia.

Pasukan Malaysia yang terdesak kemudian meminta bantuan inggris.

Tidak tanggung-tanggung Inggris langsung mengirim sekitar satu batalyon pasukan komando Special Air Services (SAS).

Inilah pasukan elite terbaik Inggris yang reputasinya melegenda ke seluruh dunia.

Inggris juga mengirim pasukan Gurkha dan SAS tambahan dari Selandia baru dan Malaysia.

Hal itu dilakukan karena hanya pasukan elit tersebut yang bisa membendung pasukan gerilya dari Indonesia.

Pertempuran antara SAS dan Gurkha melawan gerilyawan TNKU berlangsung seru.

Lebatnya rimba Kalimantan menjadi saksi pertempuran yang tak pernah diberitakan media tersebut.

Kadang pasukan Inggris mengalahkan gerilyawan TNKU dalam pertempuran.

Kadang sebaliknya, gerilyawan TNKU yang memukul pasukan SAS dan Gurkha.

Sulit untuk mencatat secara pasti data-data pertempuran.

2 September 1964, tiga Hercules terbang membawa 100 orang pasukan PGT.

Ada juga 10 gerilyawan China Melayu dan dua orang gadis untuk penerjemah.

Hercules itu bertugas menerjunkan pasukan PGT di Kalimantan.

Ikut dalam pesawat tersebut Komandan Resimen Tim Pertempuran (PGT) Letkol Sugiri Sukani.

Sugiri Sukani sudah berpengalaman terjun di belantara, saat Trikora, Sugiri juga yang memimpin pasukan PGT terjun di Irian.

Sayangnya, satu Hercules jatuh ke laut sebelum berhasil menerjunkan pasukan.

Akibatnya, sekitar 40 orang gerilyawan bersama Letkol Sugiri dan Letnan I Udara Suroso tewas.

Perang gerilya ini memakan biaya besar bagi Indonesia dan Inggris.

Saat itu pimpinan ABRI merasa jika diteruskan, konflik Dwikora ini tak akan menguntungkan Indonesia.

Apalagi tahun 1965, ekonomi Indonesia sedang jatuh.

Sejumlah pimpinan ABRI dan Malaysia pun sebenarnya sudah membuka sebuah dialog untuk perdamaian.

Indonesia Keluar dari PBB

Usaha rekonsiliasi ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan, justru kondisi semakin panas setelah tersiar kabar bahwa ada usaha untuk menjadikan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Presiden Soekarno menanggapi hal itu dalam pidatonya pada 31 Desember 1964.

Ia menyerukan bahwa PBB menerima Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan, maka Indonesia akan menarik diri dari keanggotaan PBB.

Indonesia ternyata benar-benar keluat dari keanggotaan PBB juga badan-badan khususnya seperti UNESCO, UNICEF, dan FAO.

Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB diberitahukan secara resmi dengan surat oleh Menteri Luar Negeri Dr. Subandrio pada 20 Januari 1965 yang menyebutkan bahwa keluarnya Indonesia dari organisasi dunia itu terhitung mulai tanggal 1 Januari 1965.

Sekretaris PBB, U Thant, dalam surat jawabannya tertanggal 26 Januari 1965 menyatakan penyesalannya atas keputusan itu dan mengharapkan supaya Indonesia pada suatu hari akan kembali melakukan kerjasama dalam PBB.

Sebagai wujud keseriusannya, Presiden Soekarno menolak bantuan ekonomi Amerika Serikat bagi Indonesia pada 25 Maret 1965.

Di samping surat resmi kepada Sekretaris Jenderal PBB, Presiden Soekarno juga menulis surat kepada beberapa kepala negara untuk menjelaskan kondisi dan alasan Indonesia keluar dari badan dunia itu.

Setelah Indonesia keluar dari PBB, untuk meningkatkan konfrontasi, pada 28 Februari 1965 dibentuk Komando Siaga (Koga) yang dipimpin Mayor Jenderal Soeharto.

Tujuannya adalah untuk mengkoordinasikan pasukan ABRI dan sukarelawan di perbatasan.

Setelah peristiwa G-30 S PKI, konfrontasi tidak mengendur bahkan ditingkatkan dengan dibentuknya Komando Ganyang Malaysia (Kogam) pada 23 Januari 1965.

Pada sidang Kogam kedua, Maret 1966, ditetapkan kebijakan untuk meningkatkan kegiatan mengganyang Malaysia.

Berakhirnya Konfrontasi

Politik konfrontasi tersebut baru diakhiri pada masa Orde Baru.

Politik konfrontasi kemudian diganti dengan politik bertetangga dan bersahabat baik serta hidup berdampingan secara damai dan saling menguntungkan.

Perundingan untuk menyelesaikan konfrontasi diselenggarakan di Bangkok pada 29 Mei-1 Juni 1966.

Delegasi RI dan delegasi Malaysia sepakat bahwa masalah Sabah dan Serawak tidak menjadi syarat normalisasi hubungan kedua negara.

Delegasi RI setuju untuk tidak membahas masalah Sabah serta Serawak dan lebih memusatkan perhatian pada penyelesaian konfrontasi dan pemulihan hubungan.

Kedua delegasi sepakat untuk kembali pada Perjanjian Persahabatan RI-Malaya tahun 1957 dan Perjanjian Manila tahun 1963.

Setelah perundingan Bangkok, diadakan pertemuan-pertemuan tidak resmi untuk mencari kesepakatan.

Salah satu pertemuan itu adalah perundingan antara Ghazali Syafei dan Soeharto di Jakarta pada 10 Juni 1966.

Pertemuan dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang beberapa hal dari hasil persetujuan Bangkok.

Perundingan tersebut juga bertujuan untuk menyiapkan pertemuan kedua antara Menteri Luar Negeri Aadam Malik dan Tun Abdul Razak.

Pada 18 Juli 1966, delegasi Indonesia kembali bertemu Perdana Menteri Malaysia.

Dalam perundingan tersebut disepakati masalah Sabah dan Serawak.

Indonesia mengakui Sabah dan Serawak sebagai bagian dari Malaysia dan mengakui Malaysia jika pemilu telah dilaksanakan di wilayah tersebut.

Pemulihan hubungan kedua negara semakin mendekati kenyataan setelah Kogam menyetujui hasil-hasil perundingan Bangkok.

Sementara itu, pemerintah Filipina memberikan pengakuan diplomatik penuh kepada Malaysia pada 3 Juni 1966.

Normalisasi hubungan antara Indonesia dan Malaysia dituangkan dalam Piagam Agreement to Normalise Relations between Malaysia and the Republic of Indonesia.

Piagam itu ditandatangani oleh Menter Luar Negeri Adam Malik dan Menteri Luar Negeri Malaysia Tun Abdul Razak pada tanggal 11 Agustus 1966 di Gedung Departeman Luar Negeri RI.

Dengan begitu, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia pun berakhir.

Kedua pihak sepakat untuk memberi kesempatan kepada rakyat Sabah dan Sarawak untuk menegaskan kembali statusnya melalui pemilihan umum.

12 Agustus 1966, Adam Malik mengunjungi Malaysia sebagai tanda berakhirnya konfrontasi antara kedua negara.

Kemudian pada 31 Agustus 1966 kedua pemerintahan membuka kembali hubungan diplomatik.

Pada 28 September 1966, Indonesia kembali menjadi anggota PBB.

Hubungan kedua negara semakin erat ketika dibentuk Association of South East Asian Nation (ASEAN) pada 8 Agustus 1967.

(TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)

Artikel ini telah tayang di TribunnewsWiki dengan judul: 17 AGUSTUS - Seri Sejarah Nasional : Dwi Komando Rakyat (Dwikora)

ARTIKEL POPULER:

Baca: Palagan Ambarawa, Pertempuran Penting di Ambarawa dalam Rangka Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Baca: Pertempuran Medan Area, Pertempuran 9 Oktober 1945 hingga 15 Februari 1947 di Medan, Sumatera Utara

Baca: Perang Puputan Margarana, Perang Kemerdekaan yang Meletus pada 20 November 1946 di Margarana, Utara

TONTON JUGA:

Editor: Alfin Wahyu Yulianto
Video Production: Panji Yudantama
Sumber: TribunnewsWiki

Video TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved