Terkini Daerah
Tarian Sakral Bedhaya Ketawang Tak Ditampilkan di Upacara Jumenengan Pakubuwono XIV! Ini Alasannya
Download aplikasi berita TribunX di Play Store atau App Store untuk dapatkan pengalaman baru
TRIBUN-VIDEO.COM - Bedhaya Ketawang termasuk tarian sakral yang tak ditampilkan di upacara Jumenengan Pakubuwono XIV. Makna mistis dan filosofis menjadi sorotan.
Tarian sakral Bedhaya Ketawang ternyata tidak ditampilkan dalam upacara Jumenengan Pakubuwono XIV. Lalu bagaimana asal-usul tarian sakral tersebut?
Mengenal Bedhaya Ketawang, tarian sakral yang tak ditampilkan di upacara Jumenengan Pakubuwono XIV. Berikut makna mistis dan filosofis.
Setiap kali Keraton Kasunanan Surakarta menyelenggarakan peringatan kenaikan takhta raja, prosesi tersebut hampir selalu disertai penampilan tarian sakral Bedhaya Ketawang.
Baca: Boiyen Resmi Menikah! Mahar Serba 15 jadi Sorotan di Hari Bahagia Bersama Rully Anggi Akbar
Sejarah Tari Bedhaya Ketawang
Melansir dari TribunSolo.com, Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang diyakini bermula pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613–1645) dari Kesultanan Mataram.
Dikisahkan bahwa pada suatu ketika, Sultan Agung tengah menjalani tapa atau semedi. Secara mendadak, ia mendengar lantunan suara merdu yang seolah datang dari langit.
Sultan Agung terkesima oleh alunan suara tersebut. Ia lalu memanggil para pengawalnya dan menceritakan pengalaman yang baru saja ia alami.
Peristiwa itu kemudian menginspirasi Sultan Agung untuk menciptakan sebuah tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang. Selain kisah tersebut, ada pula versi lain yang menyebut bahwa Tari Bedhaya Ketawang berkaitan dengan legenda pertemuan Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul, yang kemudian menjadi pasangan.
Setelah Perjanjian Giyanti disepakati pada 1755, dilakukan pembagian warisan Kesultanan Mataram. Pembagian itu tidak hanya mencakup wilayah dan aset, tetapi juga berbagai unsur budaya.
Pada akhirnya, Tari Bedhaya Ketawang menjadi bagian budaya yang diwariskan kepada Kasunanan Surakarta. Hingga kini, tarian tersebut ditampilkan dalam upacara penobatan dan peringatan kenaikan takhta Raja Kasunanan Surakarta.
Baca: Normal Kembali, Sebagian Nelayan di Pesisir Manado Mulai Melaut Setelah Cuaca Ekstrem Berlalu
Makna Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang umumnya dimaknai sebagai simbol ikatan spiritual dan hubungan pernikahan antara Panembahan Senapati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Seluruh cerita tersebut dituangkan melalui rangkaian gerakan tari, sementara lirik dalam tembang pengiringnya menggambarkan ungkapan perasaan Kanjeng Ratu Kidul kepada Panembahan Senapati.
Dalam kepercayaan masyarakat, setiap pementasan Tari Bedhaya Ketawang diyakini turut dihadiri Kanjeng Ratu Kidul yang ikut menari bersama para penari. Biasanya, tarian ini diperagakan oleh sembilan penari perempuan.
Menurut keyakinan Jawa, Kanjeng Ratu Kidul akan hadir sebagai penari kesepuluh yang tidak kasatmata.
Syarat Tari Bedhaya Ketawang
Sebagai tarian sakral, terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi para penarinya. Syarat utama adalah para penari harus berstatus gadis yang masih suci dan tidak sedang mengalami menstruasi.
Jika ada penari yang tengah haid, mereka wajib memohon izin khusus kepada Kanjeng Ratu Kidul melalui ritual Caos Dhahar di Panggung Sanga Buwana Keraton Kasunanan Surakarta. Ritual tersebut biasanya disertai puasa selama beberapa hari sebelum pementasan berlangsung.
Kesucian para penari dipandang sebagai unsur penting dalam menampilkan Tari Bedhaya Ketawang. Saat pertunjukan berlangsung, tarian ini diiringi Gending Ketawang Gedhe dengan laras pelog.
Alat musik yang digunakan meliputi kethuk, kenong, gong, kendhang, dan kemanak. Tarian Bedhaya Ketawang terdiri dari tiga bagian. Di tengah pertunjukan, iringan musik akan beralih ke laras slendro sebanyak dua kali, kemudian kembali lagi ke pelog hingga tarian selesai.
Selain iringan gamelan, pertunjukan ini juga disertai tembang yang berisi ungkapan hati Kanjeng Ratu Kidul kepada raja. Dalam hal busana, para penari menggunakan pakaian adat pengantin perempuan Jawa, yakni dodot ageng atau busana basahan.
Rambut para penari disanggul dengan gaya gelung boor mengkurep, yaitu model sanggul yang ukurannya lebih besar dibandingkan gelungan gaya Yogyakarta.
Terbaru, Upacara jumenengan dalem nata binayangkare untuk penobatan Raja Keraton Surakarta, SISKS Pakubuwono (PB) XIV, tetap dilaksanakan pada Sabtu (15/11/2025). Namun, prosesi tersebut berlangsung tanpa pementasan Tari Bedhaya Ketawang yang biasanya menjadi unsur utama dalam rangkaian adat.
Dalam upacara tersebut, Putra Mahkota KGPAA Hamengkunegoro atau Gusti Purboyo akan resmi dinyatakan sebagai PB XIV, menggantikan PB XIII yang telah berpulang beberapa waktu sebelumnya. Putri sulung PB XIII, GKR Timoer Rumbay Kusuma Dewayani, menjelaskan bahwa Bedhaya Ketawang tidak ditampilkan karena Keraton Surakarta masih berada dalam masa berkabung.
https://www.grid.id/read/044319685/mengenal-bedhaya-ketawang-tarian-sakral-yang-tak-ditampilkan-di-upacara-jumenengan-pakubuwono-xiv-ini-makna-mistis-dan-filosofis?page=all
#tradisi #surakarta #kraton #tribuntravel
Video Production: yohanes anton kurniawan
Sumber: Grid.ID
Live Update
Keraton Solo Memanas! Tedjowulan Kecewa Kedua Kubu Sudah Klaim Tahta Sebelum Waktunya Jumenengan
2 hari lalu
Terkini Nasional
Soal Dualisme Raja Baru Keraton Solo, Adik PB XIII: Kalau Nggak Kuat Bisa Sakit atau Mati
2 hari lalu
Live Update
LIVE UPDATE: Tedjowulan Kecewa 2 Kubu Berebut Tahta Raja Keraton Solo, Temuan Ulat di MBG Kotim
2 hari lalu
Nasional
Penobatan PB XIV Ramai Dibahas, Kuda Penarik Kereta Kencana Ternyata Sewa dari Warga
2 hari lalu
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.