Kamis, 22 Mei 2025

Tribunnews WIKI

Tarian Gandrung - Warisan Budaya Indonesia

Rabu, 24 Juli 2019 19:52 WIB
TribunnewsWiki

TRIBUN-VIDEO.COM – Tari Gandrung adalah sebuah jenis tarian tradisional yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur.

Tari Gandrung merupakan tarian yang dilakukan secara berpasangan antara pria dan wanita.

Tari Gandrung hampir sama dengan tarian di daerah lain seperti Tari ketuk tilu dari Jawa barat, Tari Tayub dari Jawa Tengah, Tari Lengger dari Banyumas dan daerah lainnya, dimana penari wanita mengajak para tamu pria untuk ikut menari bersama.

Tarian ini sangat terkenal di Banyuwangi dan menjadi salah satu ikon Kota Banyuwangi.

Selain kaya akan nilai seni dan filosofis di dalamnya, Tari Gandrung juga kaya akan nilai historis.

Menurut berapa sumber, ada beberapa versi cerita rakyat yang menjelaskan sejarah Tari Gandrung ini.

Satu diantaranya adalah pada saat dibabadnya hutan Tirta Arum untuk membangun kembali ibu kota Blambangan akibat penyerbuan kompeni yang dibantu oleh kerajaan Mataram dan Madura untuk merebut balambangan dari kekuasaan Mangwi.

Perang tersebut berakhir dengan kemenangan kompeni yang memakan banyak korban.

Selain banyaknya rakyat yang tewas, banyak juga rakyat yang melarikan diri terpencar ke hutan dan menderita.

Tari Gandrung berasal dari masyarakat Blambangan yang terpesona kepada Dewi Sri sebagai Dewi Padi, yang menurut kepercayaan Dewi ini yang membawa kesejahteraan bagi masyarakat.

Tarian Gandrung Banyuwangi ini sering dibawakan sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat setiap habis panen.

Tari Gandrung juga merupakan seni pertunjukan yang disajikan dengan iringan jenis jenis alat musik khas yaitu gamelan using.

Sejarah

Ada beberapa versi mengenai awal kemunculan tari ini.

Satu diantaranya menyebutkan tari ini muncul setelah kekalahan pahit yang dialami rakyat Blambangan saat melawan VOC.

Kesenian ini awalnya digunakan sebagai pemersatu rakyat Blambangan yang tercerai berai akibat kekalahan itu.

Kerajaan Blambangan sendiri berdiri pada abad ke-16 yang merupakan kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa.

Kerajaan Blambangan berpusat di ujung Pulau Jawa.

Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Tari Gandrung adalah khas Banyuwangi yang merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat setelah panen.

Pada mulanya tarian ini adalah bentuk syukur kepada Dewi Sri atau Dewi Padi.

Gandrung juga berarti 'yang disenangi atau digandrungi' sehingga tarian ini mengungkapkan suka cita.

Menurut tulisan Scholte tahun 1927, Tari Gandrung mulanya ditarikan oleh pria yang berdandan seperti wanita. Instrumen utama tarian ini adalah gendang atau gamelan khas Osing.

Ketika agama Islam masuk wilayah Blambangan, penari Gandrung laki-laki mulai perlahan hilang.

Ini karena dalam ajaran Islam, pria tak boleh berpakaian wanita.

Dalam buku 'Roepa, roepa, tjerita Radja Blambangan namanja Pangeran Pateh' yang ditulis oleh Hendrik Arkelaus Gerrits pada 1871 disebutkan bahwa agama Islam sudah masuk wilayah Jawa.

Pada buku itu ditulis 'Egama Mohamat' atau Agama Nabi Muhammad.

Kini Tari Gandrung dipentaskan oleh wanita.

Gerak gemulai yang meriah dengan pakaian dominan merah dan emas Tari Gandrung bisa memukau siapapun penontonnya.

Tari Gandrung pernah dipentaskan di Istana Negara pada peringatan Sumpah Pemuda tahun 2016 dan Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi pada tahun 2017.

Pada saat peringatan HUT RI itu, para penari kemudian membentuk angka 72 yang merupakan usia RI di tahun 2017.

Sementara itu, sumber lain juga mengatakan bahwa Gandrung perempuan pertama yang dikenal dalam sejarah adalah Semi, seorang anak kecil yang pada tahun 1895 masih berusia sepuluh tahun.

Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah.

Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tidak kunjung sembuh, sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar: "Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing" yang artinya: "Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi".

Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh perempuan.

Tradisi gandrung yang dilakukan oleh Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya.

Kesenian ini kemudian terus berkembang di seluruh daerah Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat.

Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian.

Karakteristik

Tata Busana Penari

Tata busana penari Gandrung Banyuwangi sangat khas dan berbeda dengan tarian di bagian Jawa lainnya, karena ada pengaruh Bali (Kerajaaan Blambangan) yang tampak.

Busana untuk tubuh terdiri dari baju yang terbuat dari beludru berwarna hitam, dihias dengan ornamen kuning emas, serta manik-manik mengkilat dan berbentuk leher botol yang melilit leher hingga dada, sedangkan di bagian pundak dan separuh punggung dibiarkan terbuka.

Di bagian leher tersebut dipasang ilat-ilatan yang menutup dada dan sebagai penghias bagian atas.

Pada bagian lengan dihias masing-masing dengan satu buah kelat bahu dan bagian pinggang dihias dengan ikat pinggang dan sembong serta diberi kain berwarna-warni sebagai hiasan.

Selendang selalu dikenakan di bahu.

Pada bagian kepala penari dipasangi hiasan seperti mahkota yang disebut omprok yang terbuat dari kulit kerbau yang telah dibersihkan dan diberi ornamen berwarna emas dan merah serta diberi ornamen tokoh Antasena, yaitu putra Bima yang berkepala raksasa namun berbadan ular yang menutupi seluruh rambut penari gandrung.

Pada masa lampau ornamen Antasena ini tidak melekat pada mahkota melainkan setengah terlepas seperti sayap burung.

Tetapi sejak tahun 1960-an, ornamen ekor Antasena ini kemudian dilekatkan pada omprok hingga seperti yang digunakan saat ini.

Selanjutnya pada mahkota tersebut diberi ornamen berwarna perak yang berfungsi membuat wajah sang penari seolah bulat telur, serta ada tambahan ornamen bunga diatasnya yang disebut cundhuk mentul.

Sering kali, bagian omprok ini dipasang hio yang pada gilirannya memberi kesan magis.

Penari gandrung menggunakan kain batik dengan bermacam corak.

Namun corak batik yang paling banyak dipakai serta menjadi ciri khusus adalah batik dengan corak gajah oling, dan corak tumbuh-tumbuhan dengan belalai gajah dengan dasar kain putih yang menjadi ciri khas Banyuwangi.

Sebelum tahun 1930-an, penari gandrung tidak memakai kaus kaki, namun semenjak dekade tersebut penari gandrung selalu memakai kaus kaki putih dalam setiap pertunjukannya.

Pada masa lampau, penari gandrung biasanya membawa dua buah kipas untuk pertunjukannya.

Namun kini penari gandrung hanya membawa satu buah kipas dan hanya digunakan pada bagian-bagian tertentu dalam pertunjukannya, khususnya dalam bagian seblang subuh

Musik Pengiring

Alat musik pengiring untuk gandrung Banyuwangi terdiri atas satu buah kempul atau gong, satu buah kluncing (triangle), satu atau dua buah biola, dua buah kendhang, dan sepasang kethuk.

Selain itu kadang-kadang diselingi dengan saron Bali, angklung, atau rebana sebagai bentuk kreasi dan diiringi electone.

Di samping itu, pertunjukan juga diiringi panjak atau pengundang (pemberi semangat) yang bertugas memberi semangat dan memberi efek lucu dalam setiap pertunjukan gandrung.

Peran panjak dapat diambil oleh pemain kluncing.

Tahapan Tari Gandrung

Jejer

Bagian ini merupakan pembuka seluruh pertunjukan gandrung.

Dimana pada bagian ini hanya disuguhkan nyanyian secara solo, tanpa tamu.

Dan biasanya para tamu yang umumnya hanya menyaksikan secara seksama karena sangat menghibur.

Maju

Setelah jejer selesai, maka sang penari mulai memberikan selendang-selendang untuk diberikan, kepada tamu-tamu pentinglah yang terlebih dahulu mendapat kesempatan menari bersama-sama.

Sedangkan tamu ini terdiri dari empat orang, membentuk bujur sangkar dengan sang penari berada di tengah-tengah.

Sang gandrung akan mendatangi para tamu yang menari dengannya satu persatu dengan gerakan-gerakan yang menggoda, dan itulah esensi dari tari gandrung.

Penari akan meminta salah satu penonton untuk memilihkan lagu yang akan dibawakan dan membuat rombongan.

Acara ini diselang-seling antara maju dan repen (nyanyian yang tidak ditarikan), dan berlangsung sepanjang malam hingga menjelang subuh.

Terkadang para penonton yang tak sabar menunggu giliran atau di sebabkan orang mabuk, pertunjukan ini sering menghadapi kekacauan.

Seblang Subuh

Bagian ini merupakan penutup dari seluruh rangkaian pertunjukan gandrung Banyuwangi.

Setelah selesai melakukan maju dan beristirahat sejenak, dimulailah bagian seblang subuh.

Dimulai dengan gerakan penari yang perlahan dan penuh penghayatan, kadang sambil membawa kipas yang dikibas-kibaskan menurut irama atau tanpa membawa kipas sama sekali sambil menyanyikan lagu-lagu bertema sedih misalnya seblang lokento.

Suasana mistis terasa pada saat bagian seblang subuh ini, karena masih terhubung erat dengan ritual seblang.

Ritual seblang adalah suatu ritual penyembuhan atau penyucian yang masih dilakukan oleh penari-penari perempuan lanjut usia meski sulit dijumpai.

Pada masa sekarang ini, bagian seblang subuh kerap dihilangkan meskipun sebenarnya bagian ini menjadi penutup suatu pertunjukan pentas gandrung.

Jenis Tari Gandrung

Tari gandrung ternyata memiliki beberapa jenis.

Pembagian jenis gandrung tersebut dibagi berdasarkan tahap pertunjukan, musik, maupun yang bersifat dramatikal dan mistis.

Jenis-jenis Tari Gandrung diantaranya:

  1. Jejer gandrung
  2. Paju gandrung
  3. Seblang subuh
  4. Seblang lukinto
  5. Gandrung dor
  6. Tari Gandrung Marsan
  7. Gama Gandrung
  8. Jaripah 

Upaya Pelestarian

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sekarang mulai mewajibkan setiap siswanya dari SD hingga SMA untuk mengikuti ekstrakurikuler kesenian Banyuwangi.

Satu diantaranya diwajibkan mempelajari tari Jejer yang merupakan bagian dari pertunjukan gandrung Banyuwangi.

Sejak tahun 2000, antusiasme seniman-budayawan Dewan Kesenian Blambangan meningkat.

Gandrung, dalam pandangan kelompok ini adalah kesenian yang mengandung nilai-nilai historis komunitas Osing yang terus-menerus tertekan secara struktural maupun kultural.

Dengan kata lain, Gandrung adalah bentuk eksistensi budaya masyarakat Osing.

Di sisi lain, penari Gandrung tidak pernah lepas dari prasangka atau citra negatif di tengah masyarakat luas.

Beberapa kelompok sosial tertentu, terutama kaum santri menilai bahwa penari Gandrung adalah perempuan yang berprofesi amat negatif dan mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, tersudut, terpinggirkan, dan bahkan terdiskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.

Sejak Desember 2002, Tari Gandrung resmi menjadi maskot pariwisata Banyuwangi yang disusul dengan dibuatnya patung gandrung dan diletakkan di berbagai sudut kota dan desa.

Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga memprakarsai promosi gandrung untuk dipentaskan di dalam dan luar negeri seperti Surabaya, Jakarta, Hongkong, dan beberapa kota di Amerika Serikat.

(TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tari Gandrung

Baca: Tari Sirih Kuning, Tarian Betawi yang Sering Ditampilkan pada Acara Tertentu

Baca: Indahnya Benturan Javista Tarian Tradisional Kontemporer Menjadi Pembuka GIIAS 2019

Baca: Tarian Air Spectra Show, Wisata Gratis di Singapura yang Jadi Andalan Wisatawan

Editor: Radifan Setiawan
Video Production: Fikri Febriyanto
Sumber: TribunnewsWiki

Video TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved