Senin, 12 Mei 2025

Profil

Profil Soe Hok Gie - Seorang Intelektual dan Kritikus Politik

Rabu, 22 Mei 2019 15:12 WIB
Tribunnews.com

TRIBUN-VIDEO.COM - Soe Hok Gie mengenyam bangku sekolah dasar di SD Shinwa di Jakarta. Semasa SD, ia sudah sangat hobi membaca, terutama karya-karya sastra.

Lulus dari SD Shinwa, Gie kemudian melanjutkan sekolahnya di SMP Strada, Gambir, Jakarta Pusat.

Namun ketika akan naik ke kelas 3, Gie harus kembali mengulang ke kelas 2.

Namun Gie enggan mengulang, ia lebih memilih untuk pindah ke sekolah lain. Gie akhirnya pindah ke sebuah SMP Kristen Protestan di Jakarta.

Lulus dari SMP, Gie kemudian melanjutkan ke salah satu sekolah terbaik, SMA Katholik Kolose Kanisius mengambil jurusan Sastra.

Lulus dari SMA pada 1962, Soe Hok Gie melanjutkan kuliah ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan lulus pada 1969 setelah menyelesaikan skripsinya tentang sejarah pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.

Riwayat Karier

Sebelum lulus dengan sebagai sarjana Ilmu Sejarah UI dan menjadi dosen di almamaternya, Soe Hok Gie dikenal sebagai seorang aktivis pemuda.

Dia begitu kritis dengan kebijakan pemerintah saat itu yang dipimpin oleh Ir. Soekarno.

Kekritisan Soe Hok Gie sudah diasah ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar.

Bersama kakaknya, Soe Hok Djin yang kemudian mengubah namanya menjadi Arief Budiman, Gie sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman baca di tepi jalan di Jakarta.

Sejak masih SD, Soe Hok Gie bahkan telah membaca karya-karya sastra yang serius seperti karya Pramoedya Ananta Toer (1).

Kegemarannya pada sastra mungkin karena keturunan dari sang ayah, Soe Lie Pit (Salam Sutrawan) yang juga seorang penulis dan sastrawan.

Ketika duduk di bangku SMA, kemampuan Gie di dunia sastra diasah semakin dalam, ia juga mulai tertarik dengan ilmu sejarah.
Di samping itu, kesadaran Gie akan dunia politik mulai tumbuh. Ia mulai melahirkan tulisan-tulisan yang tajam dan penuh kritik kepada pemerintah.

Ketika mahasiswa, Gie dikenal sebagai pendiri Mahasiswa Pecinta Alam Prajnaparamita Fakultas Sastra UI pada 12 Desember 1964. Gie sendiri memiliki nomor anggota M-007-UI di organisasi itu.

Ia sangat hobi mendaki gunung, tempat kesukaannya adalah Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango.

Berbagai gunung telah ia taklukan seperti Gunung Gede, Pangrango, Slemat, dan gunung-gunung lain di Jawa.

Selain aktif di Mapala, Gie juga menjadi bagian penting dari pergerakan mahasiswa kala itu. Banyak yang meyakini gerakan Gie dan teman-temannya memiliki pengaruh besar terhadap tumbangnya rezim Orde Lama.

Gie juga menjadi salah satu orang pertama yang mengkritik Orde Baru saat itu.

Gie pernah tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (GM Sos) yang kemudian semakin mengasah wawasannya terkait permasalahan yang ada di Indonesia.

Soe Hok Gie pernah bertemu dengan Presiden Soekarno. Saat itu, ia ditunjuk untuk mewakili mahasiswa yang setuju dengan asimilasi.

Dalam catatan harian yang kemudian dibukukan dengan judul “Catatan Seorang Demonstran”, Soe Hok Gie mengagumi Soekarno sebagai teman bicara.

Namun Gie tidak menyukainya sebagai seorang pemimpin.

Menurut Gie, Soekarno terlalu banyak menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak perlu seperti untuk membangun patung dan hotel.

Tetapi rakyatnya yang miskin dan kelaparan tidak pernah dihiraukan oleh Sukarno (2).

“Sebagai manusia saya kira saya senang pada Bung Karno, tetapi sebagai pemimpin, tidak!,” kata Gie dalam Catatan Seorang Demonstran.

Pasca tragedi 30 September 1965, gerakan mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Mereka kemudian membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

KAMI sendiri terdiri dari berbagai elemen seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekertariat Bersama Organisasi Mahasiswa Lokal, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia, Mahasiswa Pancasila, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia, serta Ikatan Mahasiswa Djakarta.

Kendati tidak tergabung dalam kesatuan aksi manapun, namun Gie memberikan pengaruh besar pada pergerakan aksi.

Gie bahkan memimpin long march Fakultas Sastra UI, mereka berjalan dari Salemba ke Rawamangun.

Selain menuntut dibubarkannya PKI, aksi tersebut juga menuntut pemerintah untuk menurunkan harga barang pokok.

Selain melalui aksi, Gie juga aktif menyuarakan perjuangannya melalui tulisan-tulisannya di berbagai media.

Tulisannya yang tajam selalu bisa menyulut api perlawanan mahasiswa hingga membuat pemerintah saat itu kalang kabut.
Pasca runtuhnya Orde Lama, kekritisan Gie sama sekali tidak mengendur.

Gie mengkritik keras tindakan pemerintah Orde Baru yang melakukan pembantaian terhadap anggota atau simpatisan PKI di Bali saat itu.

Di masa-masa itu juga, Gie mendatangi beberapa daerah seperti Purwodadi dan Semarang untuk melihat bagaimana peristiwa penjegalan itu terjadi.

Semua kisah itu Gie tuliskan dalam suratnya kepada Herbert Feith, sahabat diskusinya di Australia yang belakangan menulis tentang Indonesia.

Meski menentang pembantaian orang-orang PKI, namun Gie bukanlah orang komunis. Ia bahkan anti dengan komunisme.

Alasan Gie menentang pembantaian itu karena menurut dia setiap orang memiliki hak untuk hidup dan memilih sesuatu.

Gie menyelesaikan kuliahnya pada 1969 setelah menyelesaikan tugas akhirnya tentang berdirinya organisasi Marxis di Indonesia dan Pemberontakan PKI di Madiun.

Gie tergolong sangat berani karena telah mengangkat isu yang sangat jarang orang berani mengungkapkannya pada saat itu.

Akibatnya, Gie banyak mendapat teror dari mulai surat kaleng sampai diserempet mobil.

Tugas akhirnya tersebut kemudian dibukukan menjadi Prang di Persimpangan Kiri Jalan dan Di Bawah Lentera Merah.

Gie juga pernah melakukan studi banding ke Amerika Serikat. Ia mendapat tawaran dari Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk melakukan studi banding ke beberapa kampus di sana.

Gie melakukan perjalanan selama 75 hari. Beberapa kampus yang dia kunjungi di antaranya University of Hawaii di Honolulu, Willamette University di Oregon, Texas Southern University di Houston, sampai Cornell University di New York.

Selama masa studi banding itu, Gie kerap ikut dalam berbagai diskusi yang bertema perjuangan kelas sampai pada urusan ekonomi-politik global.

Gie merasa topik-topik tersebut sangat cocok dengan problema yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat itu.

Gie juga sempat menyaksikan aksi gerakan mahasiswa di Willamette University yang memboikot anggur California.

Gie akhirnya mengembuskan napas terakhirnya di Gunung Semeru, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-26.

Sebelum melakukan pendakian ke Semeru, Gie sempat mengirim lipstick, bedak, dan kutang kepada teman-temannya di DPR GR yang telah menghianati perjuangan mereka.

Siapa sangka, ternyata itulah bentuk protes terakhir dalam hidup Soe Hok Gie.

Ia juga sempat menuliskan catatan sebelum ia dan teman-temannya melakukan pendakian ke Semeru. Catatan tertanggal 8 Desember itu seolah menjadi pesan pamitannya.

“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat,” tulis Soe Hok Gie seperti yang tertulis dalam Catatan Seorang Demonstran.

Gie meninggal setelah menghirup gas beracun di puncak Semeru pada 16 Desember 1969. Hal ini menjadi pukulan telak bagi orang-orang terdekatnya.

Di akhir-akhir hidupnya, Gie merasakan kesendirian yang sangat luar biasa. Perlahan, orang-orang terdekatnya mulai menjauhinya karena takut dituduh terlibat dan berkawan dengan PKI.

Banyak orang yang mengagumi dan membutuhkannya, tapi sangat sedikit yang mau terlibat dan menemani Gie untuk berjuang bersama (3).

Proses evakuasi jenazah Gie di Puncak Semeru juga cukup dramatis, hal ini diceritakan oleh teman-temannya yang mendaki bersama saat itu dalam buku “Soe Hok Gie; Sekali Lagi”.

Proses evakuasi tersebut memakan waktu sekitar satu minggu karena sulitnya medan dan cuaca yang tidak mendukung.

Pada 24 Desember 1969, Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo. Namun berselang 2 hari, makamnya harus dibongkar untuk dipindah ke Pekuburan Kober, Tanah Abang.

Pada 1975, Gubernur Ali Sadikin membongkar Pemakaman Kober, sehingga makam Soe Hok Gie harus dipindahkan kembali. Namun keluarga dan rekan-rekan Gie menolak.

Mereka memutuskan untuk mengkremasi tulang-belulang Gie dan kemudian menebarkan abunya di Gunung Pangrango, tempat kesukaan Gie semasa hidupnya.

Karya

- Catatan Seorang Demonstran, diterbitkan pertama tahun 1983

- Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, diterbitkan pertama tahun 1997

- Di Bawah Lentera Merah, diterbitkan pertama tahun 1999

- Zaman Peralihan

(TribunnewsWiki)

ARTIKEL POPULER

Cara Cek Saldo BPJS Ketenagakerjaan dari HP Melalui Aplikasi BPJSTKU, Bisa Kapan Pun dan di Mana Pun

Cara Cek Nomor Telkomsel di HP

Cara Cek Nomor Indosat di HP

TONTON JUGA:

Editor: Sigit Ariyanto
Sumber: Tribunnews.com

Tags
   #Profil   #Soe Hok Gie

Video TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved