JEJAK ISLAM
JEJAK ISLAM: Sejarah Masuknya Agama Islam di Papua Barat, MUI: Lewat Fakfak
TRIBUN-VIDEO.COM - Ada beragam versi masuknya agama Islam di Tanah Papua. Setiap kerajaan atau ketuanan memiliki riwayat cerita.
Di Pulau Papua, khususnya Papua Barat, cerita mengenai masuknya agama Islam beragam. Ada sejarah yang berkembang secara berbeda di daerah seperti Fakfak, Kaimana, dan Teluk Bintuni.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Papua Barat, Dr Mulyadi Djaya, mengatakan sejarah masuknya agama Islam versi Kabupaten Fakfak menyebar di Semenanjung Onin.
Masuknya agama Islam di Papua Barat disebut terjadi pada 8 Agustus 1360 Masehi.
"Itu riwayat yang dituturkan Raja Rumbati XVI, Ibrahim Bauw," kata Mulyadi Djaya kepada Tribunpapuabarat.com saat ditemui di kediamannya, Rabu (8/3/2023).
Raja Ibrahim dalam riwayat menceritakan, kala itu datang seorang da'i (pendakwah) ke Kampung Rumbati. Da'i itu bernama Kiai Abdul Goffar berasal dari wilayah Aceh.
Dari sumber berbeda, Mulyadi Djaya mengatakan banyak ahli yang berpendapat, masuknya Islam di Tanah Papua terjadi pada abad ke-15.
Seorang ahli sejarah dari Spanyol bernama Torres, ucapnya, menyebut agama Islam hadir di Papua khususnya Fakfak pada 1600 masehi. Islam dibawa ke Papua oleh saudagar dagang dari Bugis dan Arab.
"Dulu mereka banyak melakukan transaksi dagang di Semenanjung Onin itu," kata Mulyadi Djaya.
Ia menyatakan, dapat dikatakan agama Islam masuk di Papua pada abad 16 dan 17. Hal itu ditandai dengan diangkatnya sejumlah raja di wilayah Fakfak, Kaimana, dan Raja Ampat.
"Ada raja Patipi, raja Rumbati dan seterusnya," ujar Mulyadi Djaya.
Perkembangan Islam
Dalam kesempatan yang sama, Mulyadi Djaya memaparkan perkembangan Islam mulai semarak di Irian Jaya sejak masuk dalam rangkulan NKRI pada 1963 dengan didatangkannya guru dan tokoh agama.
Dakwah agama Islam seperti Muhammadiyah kala itu masuk, beserta dakwah Nahdatul Ulama.
Khusus Muhammadiyah, ucap Mulyadi Djaya, pertama kali disiarkan di Kabupaten Merauke, yang kini jadi ibu kota Provinsi Papua Selatan pada 1920 Masehi.
Untuk Papua Barat dan Papua, Muhammadiyah dibawa dan dikembangkan Raja Rumbati XVI, Ibrahim Bauw pada 1940 masehi. Raja Ibrahim Bauw disebutnya mendakwahkan ajaran-ajaran Muhammadiyah di Papua.
Di sisi lain, masuknya Injil di Tanah Papua melalui Pulau Mansinam di Kabupaten Manokwari, kata Mulyadi Djaya dikawal dengan perintah Sultan Tidore yang memeluk agama Islam.
Injil di Papua dikenalkan oleh dua misionaris yakni Carl Wilhem Ottow dari Belanda dan Johan Gottlob Geissler dari Jerman.
Dengan riwayat pengantaran dan pengawalan oleh prajurit kesultanan Tidore, Mulyadi Djaya menilai toleransi umat beragama sejak dulu sudah diperkenalkan.
"Memberikan kesempatan untuk menyebarkan Injil di Papua serta mengantar keduanya ke Manokwari, itu artinya toleransi sejak dulu sudah diperkenalkan. Mereka (Ottow dan Geissler) tiba dengan selamat di Pulau Mansinam," ujar Mulyadi Djaya.
Hal itu dinilai menjadi cerminan toleransi dan kerukunan umat beragama di Tanah Papua baik di Kabupaten Fakfak, Manokwari, dan Kaimana.
Apalagi, di Kabupaten Fakfak sering dilakukan saling kunjung saat perayaan Idulfitri maupun Natal, termasuk dalam kepanitian pembangunan rumah ibadah.
Saat ini, umat Kristen dilibatkan dalam pembangunan masjid dan umat Islam dilibatkan untuk pembangunan gereja.
"Itu peran yang pernah dilakukan Raja Rumbati XVI, Ibrahim Bauw. Karena selain Ketua Muhammadiyah, beliau juga saudagar yang menjual hasil bumi hingga ke Jepang," kata Mulyadi Djaya.
Hasil perdagangan itu digunakan untuk membangun rumah ibadah seperti gereja dan masjid. Hasil dagang juga digunakan membangun koperasi.
"Itu membuat Papua berkembang lebih cepat," ucap Mulyadi Djaya.
Satu Tungku Tiga Batu
Ditanyai mengenai istilah satu tungku tiga batu, Mulyadi Djaya berpendapat itu ialah faslafah yang dibangun oleh tiga komponen. Tiga komponen yang dimaksud ialah adat, agama, dan pemerintah.
Maksud dari falsafah tersebut ialah untuk bekerja sama dan berakselerasi untuk membangun daerah khususnya Kabupaten Fakfak sebagai wilayah yang aman, damai, dan tentram.
Dijelaskannya, satu tungku berarti pusat kehidupan yang harus ditopang oleh tiga komponen dari adat, agama, dan pemerintah.
"Itu dibangun dari suku tertua di Kabupaten Fakfak yakni Suku Baham. Intinya mengajak tiga komponen tadi menyatukan kekuatan untuk menjaga keharmonisan hubungan," kata Mulyadi Djaya.
Menurut Mulyadi Djaya, dikenal di suku-suku di Fakfak, dalam satu klan atau marga, ada agama keluarga. Agama keluarga yakni agama yang dianut berbeda-beda dalam satu marga atau satu klan, tapi saling menghormati.
Keharmonisan itu terlihat saat perayaan hari raya. Mulyadi mengungkapkan, dalam saat Natal, anggota klan atau marga yang menganut agama Kristen akan membedakan piring makan untuk keluarganya yang muslim.
Hal itu mencegah anggota keluarga muslim menggunakan peralatan makan yang telah digunakan keluarga yang beragama Kristen untuk mengonsumsi makanan yang dianggap haram oleh keluarga Islam.(*)
Sumber: Tribun papuabarat
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.